Seperti itulah mungkin perumpamaan yang cocok untuk menggambarkan suasana hati saat saya pertama kali menghirup udara dan menginjakkan kaki di pesantren.
Tak salah rasanya, jika misalkan banyak orang yang melabeli "penjara suci" untuk lembaga pendidikan yang lebih banyak menyediakan "menu" bermuatan agama ini. Karena tempatnya dibentuk berkamar-kamar seperti halnya sel tahanan. Apalagi untuk santri baru seperti saya waktu itu, dimana saya belum pernah merasakan hidup jauh dari pangkuan orang tua. Saya merasa, seolah-olah saya sebagai nara pidanan yang sedang mengantri untuk masuk dan hidup dalam sel tahanan.
Ya, seperti saya 12 tahun lalu, dimana waktu itu semua terasa asing karena itulah pertama kali saya mengenal dan harus tinggal di pesantren dan untuk selanjutnya saya akan melalui hari-hari bersamanya, bersama dengan semua keasingannya. Asrama atau yang katanya disebut dengan "wilayah" berdiri dengan berjejer yang didalamnya terdapat kotak-kotak kamar berwarna kuning pudar. Didalam kamarnya pun terdapat tumpukan kitab kuning yang mungkin dibiarkan tertata tidak rapi, sarung yang diikat hingga menyerupai bantal bercampur dengan tas kresek entah dibuat untuk wadah apa. Belum lagi tercium bau tak sedap seperti bau makanan gosong dari kantin belakang "wilayah" itu. Saya masih ingat betul betapa besar rasa takut yang saya rasa waktu itu.
Jika misalkan Kak Taslim tak memegang tangan saya saat saya merengek minta pulang waktu itu, mungkin saya tidak akan pernah mencium tangannya. Dengan sabar ia menghibur dan mengajak saya untuk keliling pesantren sampai akhirnya saya lupa bahwa saya sedang berada di lingkungan baru, lingkungan yang asing.
Kak Taslim? Siapakah dia? Sebentar, sabarlah dulu, nanti juga pasti kita akan sama-sama mengenalnya toh meskipun dia tak mengenal kita. Yang pasti pada kesempatan ini saya akan bercerita sedikit pengalaman saya sampai akhirnya saya bisa betah tinggal di pesantren sampai saat ini. Dari cerita ini saya berharap agar kita rela untuk membiarkan anak, saudara, tetangga atau siapapun untuk turut serta merasakan dunia pesantren. Tanpa harus membiarkan mereka menikmati kelamnya kehidupan luar yang tak jarang membuat kita merasa miris. Saya berharap mereka bisa menikmati indahnya bersabar menunggu pengajian kitab dengan menghafal nadoman dan berdzikir menunggu kiai mengimami shalat jama'ah.
"Oreng tuah dimmah se tak terro ana'en deddih oreng penter. Wes lah, nurot beih".
(Orang tua mana yang tak ingin anaknya menjadi orang pintar. Sudah turuti saja)
Mendengar pesan bapak, saya langsung diam dan mengikuti semua keputusannya untuk "memondokkan" saya. Keputusan yang memaksa saya untuk tidak lagi bersama teman se-SD melanjutkan sekolah SMP pilihan saya waktu itu. Keputusan yang membuat saya tak bisa lagi utnuk keliling desa dengan bersepeda onthel. Keputusan yang memaksa saya untuk hidup dipesantren yang sekali lagi penuh dengan keasingan.
Dan betul. Sejak awal saya tinggal dipesantren, saya tak bisa lagi untuk sekedar bermain-main layaknya dirumah dulu. Semua terbatas dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh pengurus. Jika dulu, saya bisa sepuas-puasnya seharian nonton TV, setelah di pesantren jangankan nonton TV, mendengarkan radio selain hari Jum'at saja, adalah pelanggaran yang sangat besar.
Oke, lanjut..
Semua berawal dari cerita malam itu. Malam dimana saya terbangun tepat jam setengah dua dini hari. Dan inilah yang membuat saya tidak kerasan di pesantren. Entah kenapa tiba-tiba malam itu saya terbangun dari tidur, dan parahnya saya terjaga hanya seorang diri. Saya paksa untuk memejamkan mata dan berharap bisa tertidur kembali. Tapi usaha itu tak membuahkan hasil. Tanpa terasa, tiba-tiba saya teringat dengan Bapak, Ibu dan semua kenangan di rumah. Semua seakan-akan tergambar dengan jelas di langit-langit kamar. Kehangatan bersama Ibu dan keluarga, serunya saat bersama teman-teman dan keindahan lainnya. Tanpa terasa air mata sudah mengalir begitu saja membasahi bantal "buntalan sarung" saya. Ya, tanpa terasa saya menangis. Menangis sesenggukan. Dan pada akhirnya saya akan berlari ke belakang wilayah untuk menangis sejadi-jadinya untuk meluapkan beban yang sedang saya rasa. Peristiwa ini terjadi hampir di setiap malam. Sampai akhirnya saya sudah tak perlu melakukannya lagi, karena pada suatu malam, saat sedang menangis saya dipergoki Kak Taslim.
"Sakit perut kak.." Begitu jawab saya saat dia bertanya kenapa saya menangis.
Sejak malam itu dan sejak peristiwa itu, saya semakin akrab dengan Kak Taslim. Dia sudah kuliah dan dia ditugaskan pengurus untuk mengawasi sekaligus memberi arahan kepada santri junior. Keberadaanya sangat berarti kepada santri baru seperti saya yang tak pernah tahu sama sekali kehidupan pesantren. Nah, kebetulan dia sekamar dengan saya. Maka dialah tempat bagi saya untuk bercerita, berkeluh kesah dan untuk bertanya tentang banyak hal. Dengan sabar dan keikhlasannya ia selalu ada buat kami.
"Kalau mau kerasan, sering ikut bersihkan jeding dan WC"
Terdengar aneh memang. Tapi karena rasa penasaran, saya akhirnya mencoba melakukannya. Dan ternyata betul! Saat pertama kali mengikutinya, perasaan saya terasa lebih nyaman dan ketergantungan dengan rumah sudah mulai berkurang. Ajaib!
Sampai sekarang, setelah sekitar 12 tahun lamanya, saya belum bisa menemukan jawaban atas pesan Kak Taslim itu. Saya hanya berpikir, apa dengan melakukan "ritual" itu santri bisa menyatu luar dalam dengan pesantren, atau di tempat itulah sejatinya para santri baru, membuang kebimbangannya bersama "hajat"-nya. Entahlah.. Namun yang pasti, sampai sekarang pesan Kak Taslim itu sering saya sampaikan kepada santri baru yang merasa tidak kerasan tinggal di pesantren.
Maka wajar, jika misalkan ada cerita bahwa para kiai jaman dulu saat ada santri yang meminta izin untuk menjadi muridnya, bukan pengajian kitab kuning yang akan diberikannya melainkan ia akan memerintah untuk membersihkan masjid, mengisi jeding atau menghidupkan dan mematikan lampu jalanan di pesantren setiap hari.
Di pesantren saya belajar untuk bisa melalui masa-masa pahit harus berpisah dengan keluarga, sehingga saat giliran adik-adik saya harus mengikuti jejak kakaknya, saya akan menceritakan ini. Dan saya akan berpesan untuk pandai dalam memilih teman yng baik seperti Kak Taslim..
Salam saya..
pesantren tempat belajar ilmu umum dan agama,,semuanya berjalan seimbang. Nantinya juga akan membentuk karakter pribadi kita sebagai seorang muslim/muslimah...Sukses GA nya mas :)
BalasHapusAq nunggu sebulan hbis tu gak nangis lg waktu di ponpes :))))
BalasHapusSetuju, Bang. Berteman juga harus pilih-pilih ya. Apalagi di zaman sekarang agak susah milih temen yang baik dan ngajakin sholat bareng.
BalasHapusberuntung ya agan bisa masuk pasantren...
BalasHapusaku belum pernah tinggal di pesantren, jadi penasaran pingin deh tapi udah gak bisa ya :)
BalasHapusTerima kasih telah berpartisipasi dalam Trilogi Giveaway "Action for Pesantren", :)
BalasHapusSalam damai dari Bandung,
sempat sih pengen sekolah di pesantren tapi takut kagak betah jadi sekolah di sekolah SMP Muhammdiyah, dan sudah SMA ke Madrasah Aliyah Negeri
BalasHapuspasti sunggu enak banget deh di pesantren bisa belajar kita kuning... heemmm :)